Hal-hal yang Dapat Mengurangi dan Merusak Pahala Puasa
Di dalam hukum fiqih, jika seseorang berniat ibadah puasa dimalam hari (sebelum fajar menyingsing), lalu ia meninggalkan segala hal yang dapat membatalkan puasanya, seperti makan, minum, dan berhubungan intim dengan istri, maka puasanya dapat dikatakan sah. Artinya, telah terlepas kewajiban berpuasa darinya. Namun apakah hal tersebut pasti membuahkan pahala?
Pada dasarnya, segala perkara yang sia-sia -apalagi maksiat- dapat merusak pahala puasa seseorang. Oleh karena itu, seyogyanya kita menghindarinya sekuat tenaga agar kita dapat meraih pahala yang sempurna dengan izin Allah melalui puasa yang kita laksanakan. Atau paling tidak jangan sampai puasa kita –meskipun sah– tidak berbuah pahala, melainkan hanya mendapat lapar dan haus semata, na’uudzu billaah min dzalik. Diantara perkara-perkara tersebut adalah :
Berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), bertindak bodoh, dan melakukan perkara yang sia-sia
Sebagian orang yang berpuasa terkadang meskipun ia mampu menahan lapar dan dahaga, namun ia tidak dapat menahan lisannya dari perkataan yang kotor dan tidak senonoh. Ada juga yang tidak memahami salah satu hikmah puasa, yaitu melatih kesabaran, sehingga jika terjadi sedikit saja perselisihan maka hal tersebut mendorongnya untuk melakukan pertengkaran dan perdebatan dengan saudaranya sesama muslim. Yang lain berpuasa dengan “tekun” namun sembari berbuat usil terhadap orang lain, atau melakukan hal-hal yang tidak membawa manfaat baginya sama sekali baik manfaat di dunia maupun manfaat di akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), ”Apabila seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar maka katakanlah : ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa (dua kali)’ ”(HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata dan melaksanakan kedustaan
Sebagaimana yang kita maklumi bahwa perbuatan dusta adalah perbuatan haram, baik bagi orang yang berpuasa maupun yang sedang tidak berpuasa. Namun perbuatan haram yang satu ini semakin besar dampak negatifnya bagi orang yang berpuasa. Bayangkan, seseorang berjuang menahan lapar dan haus, dan meninggalkan syahwat (berhubungung suami-istri) sejak terbitnya fajar hingga tenggelam matahari, namun apa yang ia dapatkan? Bisa jadi ia tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan dahaga disebabkan kedustaan yang ia lakukan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan melakukan sesuatu dengan dasar kedustaan itu, maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makanan dan minumannya itu disisi Allah”(HR. Bukhari)
Mendengar, melihat, membicarakan, dan melalukan segala perkara yang diharamkan oleh Allah
Hikmah syariat yang tertinggi yang berada dibalik perintah puasa adalah agar seseorang dengan ibadah puasanya ini dapat menjadi hamba Allah yang bertaqwa. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa juga telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al Baqarah : 183)
Hakikat taqwa – sebagaimana disebutkan oleh para ulama- adalah melakukan semua yang dapat menjaga diri seseorang dari kemarahan dan siksaan Allah Ta’ala dengan cara menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhkan segala yang dilarang.
Oleh karena itu segala hal yang berseberangan dengan hakikat taqwa tentu dapat mengurangi bahkan bisa merusak pahala dan hikmah puasa itu. Jadi sangat disayangkan dan merugilah orang yang mampu berpuasa dengan menahan keinginan perutnya untuk tidak makan dan minum, namun anggota-anggota tubuhnya yang lain tidak dapat ia tahan untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat.